Persoalan
kemiskinan kembali menjadi menu menarik yang banyak dibicarakan orang
pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Karena, kenaikan harga
BBM disinyalir kuat telah menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di
Tanah Air sekitar 2 persen dari angka sebelumnya.
Hal ini
dapat dibenarkan dengan merujuk pada berbagai penelitian yang
dilakukan banyak pihak terhadap efek dari kenaikan harga BBM yang
berkisar rata-rata secara keseluruhan mencapai 29 persen. Kenaikan
harga BBM yang baru diberlakukan awal bulan Maret lalu akan tetap
menambah jumlah penduduk miskin di Tanah Air kendatipun dana kompensasi
pencabutan subsidi BBM dikucurkan oleh pemerintah.
Berdasarkan
prediksi Kepala Subdirektorat pada Direktorat Analisis Statistik Badan
Pusat Statistik Hamonangan Ritonga, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kenaikan harga BBM akan meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia.
Besarnya tambahan orang miskin yang bakal terjadi adalah sebanyak 2
persen dari total penduduk atau sekitar 4 juta orang. Sebuah angka
fantastis yang sangat memprihatinkan.
Dalam
penjelasannya itu, dana kompensasi yang dibutuhkan oleh setiap penduduk
miskin sebesar Rp 23 ribu rupiah. Dengan patokan itu, dana kompensasi
dari kenaikan harga BBM senilai Rp 18,1 triliun (dikurangi biaya
monitoring) yang akan dikucurkan oleh pemerintah nanti hanya akan
menjangkau sekitar 30 persen penduduk miskin. Dari angka ini kemudian
dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk miskin akan berkurang sebanyak 2
persen.
Namun
demikian, di sisi lain terdapat sekitar 40 persen dari penduduk yang
sedikit berada di atas garis kemiskinan (10,5 persen dari total
penduduk) yang tidak menerima dana kompensasi tersebut. Dengan kenaikan
harga BBM itu, penduduk golongan ini akan langsung merosot statusnya
menjadi masyarakat miskin. Hal ini menjelaskan bahwa sebanyak 40 persen
dari 10,5 persen penduduk hampir miskin di Indonesia atau setara
dengan 4 penduduk kita akan jatuh miskin. (Koran Tempo, 14/03/2005).
Dari
gabungan data-data di atas, maka tidak salah bila diungkapkan, kenaikan
harga BBM yang dijelaskan Pemerintah Indonesia akan cukup mampu
meminimalisir angka kemiskinan di negara yang sedang mengalami sengketa
teritorial di Ambalat ini, hanyalah isapan jempol belaka. Kenaikan
harga BBM justru ikut menyumbang peningkatan angka kemiskinan yang
beberapa waktu lalu sudah bisa sedikit dieliminir dengan penurunan
status 40 persen penduduk hampir miskin di Indonesia.
Karena
itulah tidak mengherankan bila sebanyak lima fraksi besar DPR RI tetap
menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah tanpa persetujuan
pihak DPR itu. Pun dalam Rapat Konsultasi antara Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan DPR RI soal kebijakan kenaikan harga BBM
(14/13) di Pustaka Loka Nusantara IV, Fraksi Demokrasi Indonesia
Perjuangan (FDIP) melakukan walk out. Bahkan Rapat Paripurna DPR yang
membahas kenaikan harga BBM sejak tanggal 15 Maret 2003 berlangsung
alot, berbuntut ricuh dan berakhir buntu setelah Fraksi PDIP dan PKB
juga melakukan walk out, Kamis (17/3).
Di
samping itu, banyak elemen masyarakat sampai hari ini terus melakukan
protes dan demontrasi menolak kenaikan harga BBM dan meminta agar harga
BBM diturunkan kembali. Di tengah persoalan sengketa wilayah Ambalat
antara Indonesia dan Malaysia, demontrasi menolak kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM ini masih bisa kita jumpai di berbagai wilayah
Indonesia.
Minimal ada tiga alasan fundamental kenapa aksi demontrasi itu masih marak dilakukan.
Pertama,
pemerintah ketika membuat kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali
tidak memperhatikan kepentingan rakyat sebagai stakeholder utama. Motif
kenaikan harga BBM adalah ekonomi dengan standar harga dunia dan pasar
serta asumsi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) semata. Dalam
hal ini faktor realitas sosial sama sekali tidak menjadi landasan
pentimbangan dalam rencana kebijakan pemerintah tersebut. Padahal
kenaikan harga BBM itu sangat membebani kehidupan sosial masyarakat
Indonesia.
Kedua,
kenaikan harga BBM hanya akan semakin menambah beban masyarakat yang
sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi. Khususnya
masyarakat marginal yang hidupnya serba kekurangan. Kenaikan harga BBM
telah mengakibatkan efek domino di masyarakat sebab selalu diikuti
dengan melonjaknya harga berbagai kebutuhan makanan pokok yang selalu
dikonsumsi masyarakat akar rumput. Belum lagi ditambah dengan naiknya
ongkos angkutan umum yang kian mencekik leher masyarakat miskin kita.
Ketiga,
adanya kekhawatiran tidak sampainya dana kompensasi dari kenaikan
harga BBM ke tangan yang berhak menerimanya. Diprediksikan oleh banyak
kalangan akan terjadi lagi apa yang disebut sebagai “tradisi korupsi”.
Hal ini cukup beralasan sebab mental korupsi masyarakat Indonesia masih
tergolong tinggi.
Karena
itulah, kebijakan menaikkan harga BBM dinilai tidak etis. Bahkan muncul
tudingan bahwa pemerintah kurang kreatif dalam mencari alternatif
penyelesaian terhadap defisit APBN. Padahal di luar kebijakan menaikkan
harga BBM ini masih terdapat alternatif lainnya yang lebih baik,
seperti melakukan pemberantasan korupsi secara serius dan kontinyu
serta menerapkan pajak terhadap barang-barang mewah.
Kemiskinan Temporal dan Struktural
Pada
dasarnya kemiskinan merupakan masalah klasik yang hingga hari ini belum
terselesaikan secara baik. Ia adalah bagian dari masalah kemanusiaan
yang selalu dihadapi umat manusia di pelbagai belahan dunia, terutama
di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebab dan sifatnya bisa
bervariasi, ada yang bersifat temporal atau perorangan, seperti karena
sikap mental atau fisik, dan ada pula yang bersifat stuktural karena
eksploitasi dalam pola hubungan yang tidak adil dan represif dari
seseorang atau suatu kelompok pada seseorang atau kelompok lainnya.
Dalam
konteks ini, Ahmad Sanusi mengelaborasi lebih jauh bahwa kemiskinan
temporal adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh cacat jasmani atau
jiwa atau pola akibat malapetaka yang menimpa seseorang. Cacat jasmani
atau mental bisa mengakibatkan seseorang tidak dapat bekerja seperti
biasanya hingga menyebabkan tidak produktif dan menjadi miskin.
Demikian pula bencana alam atau kemarau panjang yang menyerang petani
dapat pula menyebabkan kemiskinan.
Berbeda
dengan kemiskinan stuktural. Dawan Raharjo dalam Esei-esei Ekonomi
Politik menganalisa faktor kemiskinan stuktural dengan bertolak dari
keadaan struktur sosial yang eksploitatif dalam pola interaksi pada
institusi-institusi tertentu. Karena itu, kemiskinan jenis ini tidak
semata-mata sebagai akibat dari faktor-faktor yang ada pada dirinya
sendiri dan dengan sendirinya, melainkan sebagai akibat dari
eksploitasi yang cenderung represif dan dehumanis.
Tidak
terlalu berlebihan kiranya bila kemiskinan yang diakibatkan oleh
kenaikan harga BBM ini dimasukkan dalam kategori kemiskinan struktural
yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada
nasib masyarakat miskin. Masyarakat miskin hanya dijadikan kedok dari
kebijakan pemerintah yang terkesan baik. Namun secara
substantif,
justru sangatlah buruk dan eksploitatif
solusi
negara kita adalah negara yang sangat dan banyak memiliki sumberdayaalam yang melimpah kitaharus mengembangkan suberdaya lain yang kita buat sebagai pengganti bahan bakar seperti perenium dan sebagai nya
supaya tidak tergantung dengan sumber miyak yang semakin menipis .
SUMBER : aktivis sosial, peneliti pada
Serikat Perempuan Merdeka – SPM, Yogyakarta).
0 komentar:
Posting Komentar