Kompas - 30 Maret 2004
|
JAKARTA
banjir, itu cerita lama. Namun, kalau sekolah anak-anak kita
terus-menerus kebanjiran, tentulah sedih melihatnya karena sudah pasti
mengganggu aktivitas belajar dan mengajar.
Begitulah situasi yang dialami oleh SLTP Gita Kirtti (Giki) 2 yang ada
di Jalan Sunter Jaya IV/2 atau Jalan H Amsir, Jakarta Utara. "Kalau
hujan terus-terusan selama tiga jam, sekolah langsung banjir," kata
Sandy, salah seorang murid kelas tiga SLTP Giki 2, Senin (29/3).
Kompleks sekolah yang berpagar biru, bercat campuran krem dan coklat tua
itu digunakan secara bergantian oleh tiga sekolah. Selain oleh SLTP
Giki 2 juga dipakai untuk belajar siswa SMU dan SMK Giki 2. SLTP dan SMK
Giki 2 masuk pagi, sedangkan siswa SMU Giki 2 masuk siang hari.
Bangunan kompleks sekolah Giki 2 tersebut tidak bisa dibilang nyaman
karena di sebuah sudut ada satu ruang kelas yang ambruk, dan hingga kini
belum diperbaiki. Sementara itu, teras kelas yang berlantai semen sudah
mulai berlubang-lubang. Lapangan bermain yang tidak terlalu luas
membuat murid menjadi tidak leluasa bermain bola-entah sepak bola, bola
basket ataupun bola voli-karena takut bola yang mereka mainkan
menghantam kaca kelas yang mengitari lapangan.
Kepala SLTP Giki 2 Drs Tjipto Murdoko SPd menuturkan, sebenarnya mereka
sejak lama ingin meninggikan sekolah sekitar 50 cm, mengganti atap yang
mulai tua dan memasang keramik untuk kelas yang masih berlantai semen.
"Tapi kami belum ada dana. Tahun 2003 kami pernah mengajukan permohonan
bantuan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar Rp
76 juta untuk membeli keramik, lalu tahun ini kami ajukan juga Rp 272
juta untuk meninggikan kelas, mengganti genteng, dan keramik, tapi belum
ada jawaban," kata Tjipto.
SEKOLAH selalu kebanjiran, kelas ada yang roboh dan bahkan lantai teras
sekolah rusak, tak membuat murid-murid SLTP Giki 2 ini tak mampu
mencetak prestasi. Siswa yang notabene berasal dari keluarga menengah ke
bawah, seperti anak-anak buruh mencuci pakaian, tukang bangunan, tukang
ojek, sopir angkot di wilayah Sunter dan Sumur Batu tersebut memang
bukan anak-anak yang sangat pintar. Seperti dikatakan Tjipto Murdoko,
siswanya rata-rata adalah anak-anak yang tidak diterima di SLTP negeri
karena Nilai Ebtanas Murni (NEM) mereka kurang. Meski demikian, beberapa
di antara mereka ada yang mampu mengukir prestasi di bidang modeling
ataupun saat lomba Paskibra di Lab School, di mana SLTP Giki 2 menempati
urutan keempat dari 30 sekolah peserta lomba.
Sistem pembelajaran disesuaikan dengan kurikulum nasional dan menjadikan
SLTP negeri lainnya sebagai pedoman. Ada pendidikan bahasa Inggris
tambahan seminggu dua kali, hanya saja sedikit sekali yang berminat
hadir di kelas. Ada juga aktivitas berenang di Danau Podomoro Sunter
sebulan sekali di hari Rabu, ataupun kursus komputer setiap hari Sabtu
selama dua jam.
SLTP Giki 2 ini memiliki sekitar 200 siswa, terbagi atas lima kelas:
kelas I ada dua kelas, kelas II satu kelas, dan kelas III ada dua kelas.
Kelas I dan II membayar iuran sekolah sebesar Rp 50.000 setiap
bulannya, sedangkan siswa kelas tiga membayar Rp 70.000 setiap bulan.
"Uang Rp 70.000 itu, yang Rp 5.000 itu untuk uang renang, Rp 50.000
untuk Yayasan Gita Kirtti dan digunakan untuk membayar tenaga guru
sebanyak 15 orang. Sisanya, Rp 15.000, adalah uang komite yang digunakan
untuk pemeliharaan sekolah ataupun komputer. Cukup? Tentu saja tidak.
Tapi kami harus bertahan," tutur Tjipto.
PEMASUKAN yang tidak terlalu besar dari uang sekolah yang dibayarkan
siswa, tentulah berkorelasi pada pendapatan para gurunya. Guru-guru SLTP
Giki 2 umumnya mendapatkan uang mengajar sesuai dengan jumlah jam
mengajar yang dijalaninya. Untuk tiap jam tatap muka dihargai Rp 10.500.
Jadi, kalau seorang guru mengajar selama 30 jam dalam sebulan, maka
penghasilannya berkisar Rp 315.000.
Dengan penghasilan yang tidak terlalu besar, bagaimana guru-guru itu
bisa bertahan? "Kalau saya memberi les privat di luar jam sekolah.
Sekarang ini saya punya tiga orang murid les privat yang berasal dari
luar sekolah. Lumayan untuk menambah penghasilan," kata Supartini, guru
bantu SLTP Giki 2 yang mengajar bahasa Inggris sejak tahun 1990.
Apa yang membuatnya terus bertahan menekuni profesinya selama 14 tahun
ini, menurut Supartini, itu lebih karena panggilan hati nurani. Tentu
saja, tanpa idealisme seperti itu guru-guru tidak akan mampu bertahan
lama mengajar murid-murid mereka.
Lalu bagaimana dengan penerapan disiplin sekolah terhadap para murid?
Tiga siswa SLTP Giki 2-Sandy, Asep, dan Rahmat-yang Senin kemarin
berbincang dengan Kompas menyatakan, mereka berada di luar ruang kelas
tersebut justru karena sedang dihukum. Penyebabnya, mereka lupa membawa
buku pelajaran. Dalam konteks ini, sebetulnya disiplin sekolah pun tetap
ditegakkan. Hanya saja, penegakan itu lebih bersifat hukuman semata
tanpa memberi semacam tugas-tugas tambahan. Taruhlah seperti
membersihkan sekolah, atau tetap mengikuti kegiatan belajar-mengajar
dari luar kelas.
Hukuman berat lainnya adalah jika siswa terlibat tawuran maka akan
dikeluarkan dari sekolah. Pengumuman semacam itu terpampang jelas di
luar ruang kerja kepala sekolah. Namun, kenyataannya, murid-murid SLTP
Giki 2 tetap saja ada yang terlibat tawuran, bahkan tawuran terjadi
hampir tiap Sabtu, dan mereka yang terlibat hanya diskors seminggu
sebagai hukuman. Bagi sebagian siswa, hukuman tidak masuk sekolah selama
seminggu tersebut justru membuat mereka bertambah senang. Agaknya,
sudah waktunya pihak sekolah menjatuhkan hukuman tegas: sesuai aturan
mereka perlu dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari sekolah.
Begitulah gambaran selintas sekolah-sekolah kita di pinggiran Jakarta.
Dana yang tidak memadai, uang sekolah yang tetap dirasakan mahal bagi
siswa dari keluarga kurang mampu secara ekonomi, dan guru-guru yang
bergaji rendah. Potret demikian haruslah disudahi jika kita ingin agar
sumber daya manusia kita mampu bersaing secara global. Bagaimana
caranya? Pemerintah harus memprioritaskan anggaran untuk menyubsidi
biaya pendidikan agar semua anak mendapatkan pendidikan yang selayaknya.
(LOK)
|
|
0 komentar:
Posting Komentar